UANG AKAN MUSNAH DAN CINTA AKAN SELALU ABADI
Cinta atau Uang?
Teng…teng…teng...
Terdengar suara denting jam dinding yang tepat
menunjukkan pukul 9 malam. Aku masih terpaku dengan kesendirianku menikmati
angin malam di teras luar rumahku. Sembari sesekali aku menatap pintu gerbang dan berharap orang tuaku
datang. Malam semakin larut dan mereka tak kunjung pulang.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka.
“Non, sudah
malam. Ayo masuk.” Ajak mbok Giyem sembari menarik lenganku untuk masuk. Aku
hanya menurut sambil sesekali menatap pintu gerbang untuk yang terakhir
kalinya. Berharap Papa dan Mama pulang.
Mbok Giyem, ya
dialah satu-satunya teman yang aku punya di rumah ini, dari pagi hingga malam
hingga pagi lagi, hanya mbok Giyem yang selalu aku liat setiap harinya. Papa
dan Mama, entah apa yang membuat mereka terlalu bahagia mencari uang hingga tak
menyisakan waktu sedikpun untukku. Aku hampir selalu mendapatkan apa yang aku
mau tanpa aku harus menunggu lama, semuanya akan terkabulkan bahkan hanya dalam
waktu beberapa menit saja. Namun, tidak untuk kasih sayang Papa dan Mama,
hampir tak pernah ada waktu untuk bersama, mereka terlalu bahagia mencari uang
hingga melupakanku. Hanya mbok Giyem, satu-satunya orang yang selalu menyisakan
waktu untukku, setiap hari setiap waktu, hanya mbok Giyem yang ada.
Aku tau mengapa
mereka seperti itu. Papa dan mamaku, dulunya kami bukanlah orang yang memiliki
harta banyak, kami hidup dalam keluarga yang sangat sederhana. Papaku adalah
seorang guru yang sangat dikagumi oleh murid-muridnya, aku bahkan selalu diajak
main dengan mereka. Hingga pada suatu ketika, kami memutuskan untuk pindah ke
pulau Jawa, tepatnya di Semarang. Saat itu aku melihat wajah mereka yang begitu
bahagia, karena kami bisa tinggal dekat dengan saudara-saudara papa dan mama yang
tinggal di Semarang. Namun tak disangka harapan mereka pupus, saat tiba di
sana, tak satupun saudara papa menyukai keluarga kami. Di sana kami tinggal di
rumah kakek sembari menunggu Papa mencari rumah baru. Kami sangat dibenci dan
selalu diacuhkan.
Aku masih ingat
saat aku ingin bermain dengan sepupuku yang seumuran denganku, tiba-tiba
tanteku yang tepatnya adalah adik papaku mendorongku hingga jatuh. Sambil
berkata kasar padaku dia berkata, “Dasar anak miskin, gak usah dekat-dekat
dengan anakku.” Tanpa menolongku untuk berdiri dia langsung pergi
meninggalkanku. Aku yang saat itu masih balita tidak begitu mengerti, namun
Papaku yang mendengar dan melihat kejadian itu langsung menggendongku dan
kulihat matanya berlinang penuh air mata.
Seminggu
kemudian kami pindah ke Jakarta, tanpa meperdulikan sanak saudara papa yang
kala itu terus mencaci maki. Kami berpamitan pada kakek dan nenek, lalu papa
menggendongku dan pergi. Aku pandangi wajah papa kala itu yang penuh kesedihan
meninggalkan tempat kelahirannya. Sadar aku terus memandanginya, papa kemudian
berkata padaku dengan lirih, “Aku tak akan membiarkan siapapun menghinamu
lagi.”
***
“Non...! Bangun
sudah pagi! Ayo bangun!”
Terdengar suara
yang sudah tak asing lagi ditelingaku. Mbok Giyem tentunya, dia selalu rajin
membangunkanku setiap hari untuk tidak pernah meninggalkan solat subuh dan
menyuruhku untuk selalu berangkat sekolah. Aku yang masih mengantuk mengiyakan
saja ucapkannya. Hari ini aku sangat malas untuk pergi ke sekolah. Aku malas
melihat wajah teman-temanku. Malas melihat mereka yang hanya mendekatiku karena
aku memiliki uang, namun saat aku membutuhkan mereka, satupun tak ada yang
datang padaku. Aku sangat heran, mengapa uang begitu penting hingga membuat
semua orang begitu egois. Aku kesal sendiri akan hal itu.
“Arrrggg...!”,
gerutuku sambil memukul Bebel, boneka beruang yang kujadikan teman dirumah ini
setelah mbok Giyem.
“Ada apa Non?”,
tanya mbok Giyem di depan pintu yang ternyata masih menungguku untuk bangun.
“Aku males
sekolah mbok.” Jawabku dari tempat tidur.
“Jangan dong
Non, nanti mbok kena marah bapak ibu kalau Non nggak mau sekolah.”
Aku hanya diam
sambil berkata dalam hati, “Memangnya kapan mereka mau memarahi, bertemu aja
nggak pernah.”
“Non, ayolah
bangun.” Teriak mbok Giyem yang masih belum menyerah membangunkanku.
“Iya iya mbok.”,
akhirnya aku menurut saja. Entahlah aku merasa tidak enak hati jika membuat
mbok Giyem merasa bersalah. Karena tentunya dia orang satu-satunya yang selalu
menemaniku setiap hari.
***
“Kesya...”
teriak seorang pria setengah baya yang sudah tak asing lagi ditelingaku.
“Iya Pak.” Aku
menghentikan langkahku dan menoleh ke arahnya.
“Kamu terlambat
lagi? Sudah berapa kali saja ini? Selalu kamu lagi kamu lagi.”, celotehan pria
itu tanpa jeda.Dia satpam sekolahku, entah sudah berapa kali aku terlambat
sejak mulai pertama kali aku masuk sekolah ini hingga kini aku duduk di bangku
kelas 3 SMA. Dia bahkan hafal namaku, kelasku, umurku, bahkan di mana aku
tinggal karena saking seringnya aku terlambat sekolah.
“Saya tidak
pernah menghitungnya pak.” , jawabku sambil sedikit tertawa.
“Sekali lagi
kamu terlambat, kamu akan saya laporkan kepada kepala sekolah agar diberi
peringatan.”, tegasnya sambil menuding-nudingkan tongkatnya ke arah wajahku.
“Baiklah pak
siap.”, jawabku sambil memberi hormat padanya. “Kalau begitu saya masuk kelas
dulu ya pak?”, lanjutku tanpa meunggu jawabannya aku langsung mencoba melarikan
diri.
“Eh... siapa
bilang kamu boleh ke kelas?”, dengan garangnya dia menarik tasku. “Bershkan
toilet!”
“Hah? Lagi?
Kemarin sudah kan pak?”, keluhku kesal karena selalu saja toilet yang harus ku
bersihkan.
“Dilarang
protes.”, dengan angkuhnya dia kembali ke pos sambil tertawa-tawa. Aku hanya
bisa menggerutu dalam hati. Pria ini sungguh menjengkelkan.
***
Aku meninggalkan
pelajaranku lagi hari ini karena harus membersihkan toilet lagi.
“Sungguh
keterlaluan, memangnya aku cleaning service.”, gerutuku sambil
melempar-lemparkan alat pel ke lantai. Tiba-tiba segerombolan cewek masuk, dan
sudah ku tebak pasti itu adalah gene cewek onar itu. Aku langsung bersembunyi d
salah satu bilik kamar mandi yang rusak.
“Aduh, rambutku makin
kucel aja sih.”, kata salah seorang cewek bernama Sheril si ketua geng.
“Hahaha, kamu nggak
nyalon-nyalon lagi noh sama si Kesya, kan enak tuh gratis.”, ejek Momo, salah
satu cewek dari geng mereka.
“ATM berjalan
kamu udah nggak mau lagi bayarin Sher? Hahaha”, ejek Rere, alah satu anggota
geng yang lain.
“Resek banget
kalian semua. Nggak level lah jalan sama Kesya. Dia tuh nggak punya apa-apa
lagi, liat aja bentar lagi orang tua nya bakal bangkrut dan dia bakalan
miskin.” Sanggah Sheril. Aku hampir saja ingin menghantam wajahnya dengan
tongkat pel ini, namun ku urungkan niatku. Kemudian kulanjutkan lagi
mendengarkan pembicaraan mereka.
“Maksud kamu, Kesya
miskin?”, tanya Rere penasaran.
“Iya, kalian
nggak tau ya, bokap nyokapnya Kesya tuh sebenernya udah bangkrut. Mereka aja
ngemis-ngemis ke orang tua nya Bastian supaya bantuin mereka ngedapetin saham
lagi di perusahaan.
“Kamu yakin?”,
tanya Momo tidak yakin dengan ucapan Sheril.
“Ya iya lah, aku
tuh dapat informasi dari orang yang sangat dapat di percaya.”, tegas Sheril.
“Makannya aku ogah deh temenan lagi sama dia, masak iya aku temenan sama orang
kere. Duh nggak level.” Lanjut Sheril. “Yuk ah balik kelas.”, kemudian mereka
semua pergi meninggalkan toilet.
Aku yang saat
itu masih berada di balik bilik toilet tak kuasa menahan air mata, aku sama
sekali tidak percaya. Ku pikir Sheril adalah teman yang baik, dulunya kami
sering menghabiskan waktu bersama, main bersama, dan Sheril adalah satu-satunya
sahabat terbaik yang aku miliki di sekolah ini. Namun, dengan pembicaraan yang
aku dengar tadi, aku tidak percaya bahwa ternayata hanya karena uang. Aku
bahkan harus membeli sebuah pertemanan dengan uang, dan ketika aku tidak
memiliki uang aku tak bisa mendapatakannya lagi. Aku semakin membenci dengan
adanya uang. Aku bahkan hampir kehilangan segalanya hanya karena uang, cinta
keluargaku bahakan juga pertemananku. Aku benci uang!
***
Sepulang
sekolah, aku langsung ke kamar dan mengunci pintu. Kudengar mbok Giyem
memanggil untuk makan, namun aku sama sekali tak menghiraukannya. Ku rebahkan
tubuhku di ranjang. Dengan campur aduk yang masih menyelimuti perasaanku, mata
ku tertuju pada sebuah foto di meja, dengan kesal aku mengambilnya dan
menghempaskannya ke lantai, foto itu adalah fotoku bersama papa dan mama. aku
tak kuasa memandang foto itu, yang ada hanya amarah dan kekesalan. Lalu sesaat
kemudian aku mengambil beberapa baju dan ranselku. Tanpa berpikir panjang aku
pergi meninggalkan rumah. Mbok Giyem menghalangiku, terus mencoba untuk
mencegah niatku. Aku sama sekali tak menghiraukannya, ku panggil pak Nanang supir
di rumah ini dan dengan sigap ku ambil kunci mobil dan mengendarainya hingga
hampir menabrak pintu gerbang. Kemudian aku mengendarai mobilku dengan kencang,
tanpa mempedulikan mbok Giyem yang bertiak sambil menangis memanggil namaku.
Aku tak peduli lagi. Aku benar-benar muak.
Awalnya aku tak
tahu kemana aku akan pergi. Pandangan serta tatapanku kosong. Aku terus melaju
kendaraanku. Di tengah jalan aku melihat seorang kakek duduk di pinggir jalan
sesaat aku teringat akan kakekku, lalu kemudian aku menepikan mobilku. Kulihat
kakek itu, dengan menatapku penuh iba, dia berdiri dan menghampiriku. Dengan tangan
menengadah dia meminta beberapa uang receh untuk makan hari ini. Ku berikan
beberapa lembar uang kertas lima puluh ribuan. Namun, dia malah menolaknya dan
hanya meminta sedikit untuk membeli sebungkus nasi. Aku yang saat itu malah
kebingungan heran melihat si kakek ini, di saat semua orang hanya memikirkan
uang yang bahkan hanya untuk berfoya-foya kakek ini malah menolak ketika diberi
uang lebih. Lalu kemudian aku memiliki ide untuk mengajaknya makan saja.
Akhirnya dia pun mengangguk setuju. Kupersilakan kakek masuk ke mobilku, lalu
ku ajak dia makan di sebuah tempat makan nasi padang. Sembari menunggu pesanan
datang aku bertanya kepada kakek.
“Kakek tinggal
dimana?”
“Saya tidak
tahu.”, jawabnya lirih. Aku semakin kebingungan.
“Lho, lalu
selama ini kakek tidur dimana?”
“Saya tidur di
tempat anak saya Neng.”, dengan kalimat yang terbata-bata kakek itu menjelaskan
dimana dia selama ini bermalam.
“Kalau begitu
nanti saya antar kakek ke rumah anak kakek ya?”, tawarku padanya. Kakek hanya
mengangguk menurut dengan ajakanku. Lalu kemudian pesanan datang dan kami makan
bersama. Setelah selesai makan. Kakek memintaku untuk membungkuskan sisa
makanannya untuk anaknya. Aku menolak, dan meminta pelayan membungkuskan yang
baru dan lagi-lagi si kakek hanya mengangguk menurut padaku. Setelah selesai
makan ku anatarkan kakek kerumah anaknya.
Begitu sampai di
tempat yang disebut rumah anaknya, aku begitu tercengang. Rumah yang di maksud
kakek adalah sebuah pemakaman umum. Aku hampir saja membeku karena ketakutan,
lalu sepertinya kakek mengetahui ketakutanku.
“Jangan takut
neng, di sini anak saya tinggal.”, jelasnya sembari menyunggingkan senyum.
“Ke..ke..kenapa
di sini kek?”, tanyaku terbata-bata karena ketakutan. Tanpa menjawab
pertanyaanku, kakek itu menuntunku ke arah sebuah nisan.
“Anak saya
meninggal 15 tahun yang lalu.”, sambil menunjuk ke arah nisan itu.
“Lalu kenapa
kakek harus tinggal di sini?”, tanyaku penuh keheranan.
“Saya ingin
menemani dia, seumur hidupnya saya sama sekali tidak pernah menemaninya. Saya
selalu membiarkannya sendirian, tanpa teman tanpa kasih sayang seorang ayah.”, penjelasan
kakek padaku, sesaat air mataku mulai mengalir dan aku teringat papa dan
mamaku.
“Saya terlalu
sibuk mencari uang, saya pikir dengan uang saya bisa memberikan dia kebahagiaan.”,
kemudian kakek terdiam sesaat dan ku lihat air matanya mengalir.
“Dia meninggal
tepat saat menunggu saya pulang, dengan hujan yang sangat lebat malam itu dia
memberanikan diri menunggu saya di luar gerbang, malam itu sudah sangat larut,
petir menyambar-nyambar bersaut-sautan, saya terjebak di kantor, kemudian saya
mendapat telepon bahwa putri saya kecelakan tertabrak truk yang hilang kendali
di dekat daerah kawasan rumah saya.”, kemudian dia terdiam kembali.
“Saya terlambat,
sesampainya di rumah sakit. Putri saya sudah meninggal.”, lalu dia menangis
sembari mengusap nisan putrinya.
“Kakek yang
sabar ya kek.”, aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan, bibirku terasa kelu
dan tercekat. Aku ingin menangis, namun tertahan.
“Satu-satunya
yang saya temukan hanyalah secarik puisi yang dia buat untuk saya. Dia
mengatakan dia sangat mencintai saya.”, kakek itu kemudian menangis.
“Putri kakek
pasti sangat beruntung memiliki kakek. Percayalah kek, dia pasti sudah
bahagia.”, ucapku sembari menepuk pundak kakek.
“Saya tidak
pernah bermaksud untuk selalu meninggalkannya. Saya hanya ingin memberikan yang
terbaik untuknya. Namun saya salah, uang bukan lah satu-satunya cara membuatnya
bahagia.”, ucap kakek sembari mengusap air matanya.
“Dia pasti
mengerti kek. Untuk itu kakek harus menjalani kehidupan yang baik. Dia akan
sedih kalau kakek hidup seperti ini. Apa kakek masih ingin membuatnya sedih?”,
tegasku meyakinkan kakek.
“Saya hanya
tidak bisa meninggalkannya sendirian lagi.”, jawabnya sambil menatapku.
“Kakek tidak pernah
meninggalkannya, karena dia ada di dalam hati kakek.”, kataku sambil menunjuk
hati kakek. “Dia tidak pernah sendirian, karena kakek selalu menemaninya.”,
lanjutku sambil tersenyum.
Kemudian kakek
menatap kembali nisan anaknya, dengan penuh kasih sayang dia mengusapnya dan
menciuminya. Setelah itu kami memanjatkan doa kepada Tuhan untuk putri kakek.
Dan aku mengantar kakek ke sebuah panti agar dia mendapat perawatan dan bisa
hidup layak di sana. Sebelum aku pergi meninggalkan kakek, kakek meberikan aku
sebuah kalung liontin milik putrinya.
“Kamu mirip
sekali dengan putri saya, bawalah ini bersamamu.”, sembari memberikan liontin
itu.
“Tapi kek, ini
adalah sesuatu yang sangat berharga untuk kakek.”, tolakku.
“Putriku ada di
sini.”, sambil menunjuk hatinya. “Tidak ada yang lebih berharga di bandingkan
itu.”
Aku hanya
tersenyum. Lalu aku berpamitan dan meninggalkan kakek. Ku lihat kakek lebih
bahagia sekarang. Kakek memberikan aku suatu pelajaran yang sangat berharga.
Lalu aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Aku melaju mobilku dengan penuh
ketenangan sembari menatap liontin tersebut. Aku merasa ada sesuatu yang lebih
ringan di dalam hatiku. Perasaanku terasa lebih tenang, dan satu-satunya yang
ingin aku temui hanyalah papa mama.
Dalam perjalanan
pulang, tiba-tiba hujan turun sangat lebat di sertai angin kencang. Aku
berencana menepikan mobilku dan menunggu hingga hujan reda, karena sudah malam.
Namun belum sempat menepikan mobilku tiba-tiba ada sebuah mobil lain yang
melaju sangat kencang dari arah yang berlawanan, aku terkejut dan kehilangan
kendaliku.
Braakkk......
Kecelakaan itu
tak dapat terhindarkan. Mobil itu menghantam mobilku hingga membuat mobilku
terguling menghantam sebuah pohon besar. Di tengah-tengah kesadaranku, aku
menyentuh sebuah kotak besar yang terguling dari dalam dashboard yang
berisi sebuah kado dengan secarik kertas bertuliskan “SELAMAT ULANG TAHUN
KESYA”. Aku sedikit teringat bahwa hari ini adalah ulang tahunku. Lalu dengan
masih setengah sadar, aku menemukan secarik kertas lagi berisikan tulisan papa
yang bertuliskan...
Untuk
Putri Papa tercinta
Kesya...
Gadis
kecil papa, kini bukan lagi seorang gadis kecil,
Kesya
telah tumbuh besar dan cantik,
Namun,
bagi papa mama Kesya tetaplah seorang malaikat kecil,
Dengan hanya
melihat Kesya, papa selalu diberikan semangat yang luar biasa dari Tuhan,
Papa tidak
pernah membiarkan Kesya sendirian,
Karena
papa tau Kesya tidak suka kesepian,
papa
mengerti apa yang Kesya rasakan,
Ketahuilah
sayang tak ada yang lebih membahagiakan selalin melihatmu bahagia,
Setiap
hari papa selalu ingin lekas pulang untuk segera melihat dan bertemu denganmu,
Walaupun
pada akhirnya papa selalu terlambat dan hanya melihatmu terlelap,
Papa tau
Kesya kecewa,
Namun
papa tidak mampu jika harus melihatmu terhina sayang,
Papa tak
mampu melihat gadis kecil papa terluka,
oleh
karena itu, papa menghabiskan seluruh waktu papa untuk kebahagiaan putri papa,
walaupun
pada akhirnya papa menyadari hal itu hanya melukai hati Kesya,
Papa
berjanji papa tidak akan lagi mebiarkan Kesya terluka, papa akan selalu ada
untuk Kesya,
Selamat
Ulang Tahun Malaikat Kecilku.
Yang Tersayang
Papa
Aku tak mampu
berkata apapun membaca surat papa, segalanya terasa semakin sesak dan sesaat
kemudian segalanya berubah menjadi sangat gelap.
***
Kepalaku terasa
berat dan begitu pening. Ku coba membuka mataku, kulihat papa tidur di
sampingku sambil memegang erat tanganku. Dan kulihat di sisi lainnya ada mama.
mama yang menyadari kesadaranku langsung menyentuh kedua pipiku. Seolah-olah
sudah lama tak bertemu dia menciumi ku. Sembari menangis dan mengucapkan maaf
berkali-kali. Papa yang saat itu mendengar isak tangis mama langsung terbangun.
Dan tak berbeda halnya dengan mama, papa menciumiku sembari mengucapkan maaf.
Aku hanya tersenyum.
“Sudahlah pa,
ma, ini belum lebaran, minta maafnya nanti saja ya? Hehehe.”, gurauku, lalu
kulihat mereka tertawa, tawa yang sudah lama tak pernah lagi ku lihat. Tawa
yang sempat hilang dan kini tawa itu telah kembali.
“Kesya...mulai
hari dan seterusnya, papa dan mama akan menjaga dan menemanimu.”, ucap papa
sambil mengusap kepalaku.
“Lalu bagaimana
dengan pekerjaan papa dan mama?”, tanyaku keheranan.
Papa hanya
tersenyum, “Itu bisa di atur, asalkan bisa melihat putri papa bahagia.”
“Aku mengerti
kok pa, jadi jangan mengkhawatirkan aku, jangan karena aku lalu papa harus
meninggalkan pekerjaan papa.”, tegasku meminta papa memikirkan kembali
ucapannya.
“Hal itu tidak
lebih berharga dari pada kamu sayang. Pekerjaan, uang, harta hanya sementara,
akan hilang, akan musnah.”, sembari menatap mama. “Namun, bagi kami kamu adalah
harta kami yang paling berharga tak dapat digantikan maupun di beli oleh apapun
bahkan dengan uang.”, lanjut mama.
Aku menangis
sejadi-jadinya. Kemudian papa dan mama memeluku dengan erat. Sesuatu yang
sangat aku rindukan. Aku sangat bahagia, bahkan lebih bahagia dibandingkan saat
aku memiliki uang. Aku tidak akan menjadi miskin hanya karena aku tak memilki
uang, namun aku akan miskin jika tanpa cinta dan kasih sayang orang tuaku. Walaupun
segalanya memerlukan uang, namun uang tidak dapat membeli segalanya. Dan aku
bahagia karena cinta bukan karena uang. Cinta,
kasih sayang, dan sebuah pertemanan tidak akan mampu di beli oleh uang. Uang
akan musnah, namun cinta akan selalu abadi.
*TAMAT*
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi menulis cerpen "Pilih Mana:Cinta atau Uang?" #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com