Sabtu, 21 November 2015

UANG AKAN MUSNAH DAN CINTA AKAN SELALU ABADI


Cinta atau Uang?



Teng…teng…teng...
Terdengar suara denting jam dinding yang tepat menunjukkan pukul 9 malam. Aku masih terpaku dengan kesendirianku menikmati angin malam di teras luar rumahku. Sembari sesekali aku menatap pintu gerbang dan berharap orang tuaku datang. Malam semakin larut dan mereka tak kunjung pulang. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka.
“Non, sudah malam. Ayo masuk.” Ajak mbok Giyem sembari menarik lenganku untuk masuk. Aku hanya menurut sambil sesekali menatap pintu gerbang untuk yang terakhir kalinya. Berharap Papa dan Mama pulang.
Mbok Giyem, ya dialah satu-satunya teman yang aku punya di rumah ini, dari pagi hingga malam hingga pagi lagi, hanya mbok Giyem yang selalu aku liat setiap harinya. Papa dan Mama, entah apa yang membuat mereka terlalu bahagia mencari uang hingga tak menyisakan waktu sedikpun untukku. Aku hampir selalu mendapatkan apa yang aku mau tanpa aku harus menunggu lama, semuanya akan terkabulkan bahkan hanya dalam waktu beberapa menit saja. Namun, tidak untuk kasih sayang Papa dan Mama, hampir tak pernah ada waktu untuk bersama, mereka terlalu bahagia mencari uang hingga melupakanku. Hanya mbok Giyem, satu-satunya orang yang selalu menyisakan waktu untukku, setiap hari setiap waktu, hanya mbok Giyem yang ada.
Aku tau mengapa mereka seperti itu. Papa dan mamaku, dulunya kami bukanlah orang yang memiliki harta banyak, kami hidup dalam keluarga yang sangat sederhana. Papaku adalah seorang guru yang sangat dikagumi oleh murid-muridnya, aku bahkan selalu diajak main dengan mereka. Hingga pada suatu ketika, kami memutuskan untuk pindah ke pulau Jawa, tepatnya di Semarang. Saat itu aku melihat wajah mereka yang begitu bahagia, karena kami bisa tinggal dekat dengan saudara-saudara papa dan mama yang tinggal di Semarang. Namun tak disangka harapan mereka pupus, saat tiba di sana, tak satupun saudara papa menyukai keluarga kami. Di sana kami tinggal di rumah kakek sembari menunggu Papa mencari rumah baru. Kami sangat dibenci dan selalu diacuhkan.
Aku masih ingat saat aku ingin bermain dengan sepupuku yang seumuran denganku, tiba-tiba tanteku yang tepatnya adalah adik papaku mendorongku hingga jatuh. Sambil berkata kasar padaku dia berkata, “Dasar anak miskin, gak usah dekat-dekat dengan anakku.” Tanpa menolongku untuk berdiri dia langsung pergi meninggalkanku. Aku yang saat itu masih balita tidak begitu mengerti, namun Papaku yang mendengar dan melihat kejadian itu langsung menggendongku dan kulihat matanya berlinang penuh air mata.
Seminggu kemudian kami pindah ke Jakarta, tanpa meperdulikan sanak saudara papa yang kala itu terus mencaci maki. Kami berpamitan pada kakek dan nenek, lalu papa menggendongku dan pergi. Aku pandangi wajah papa kala itu yang penuh kesedihan meninggalkan tempat kelahirannya. Sadar aku terus memandanginya, papa kemudian berkata padaku dengan lirih, “Aku tak akan membiarkan siapapun menghinamu lagi.”

***

“Non...! Bangun sudah pagi! Ayo bangun!”
Terdengar suara yang sudah tak asing lagi ditelingaku. Mbok Giyem tentunya, dia selalu rajin membangunkanku setiap hari untuk tidak pernah meninggalkan solat subuh dan menyuruhku untuk selalu berangkat sekolah. Aku yang masih mengantuk mengiyakan saja ucapkannya. Hari ini aku sangat malas untuk pergi ke sekolah. Aku malas melihat wajah teman-temanku. Malas melihat mereka yang hanya mendekatiku karena aku memiliki uang, namun saat aku membutuhkan mereka, satupun tak ada yang datang padaku. Aku sangat heran, mengapa uang begitu penting hingga membuat semua orang begitu egois. Aku kesal sendiri akan hal itu.
“Arrrggg...!”, gerutuku sambil memukul Bebel, boneka beruang yang kujadikan teman dirumah ini setelah mbok Giyem.
“Ada apa Non?”, tanya mbok Giyem di depan pintu yang ternyata masih menungguku untuk bangun.
“Aku males sekolah mbok.” Jawabku dari tempat tidur.
“Jangan dong Non, nanti mbok kena marah bapak ibu kalau Non nggak mau sekolah.”
Aku hanya diam sambil berkata dalam hati, “Memangnya kapan mereka mau memarahi, bertemu aja nggak pernah.”
“Non, ayolah bangun.” Teriak mbok Giyem yang masih belum menyerah membangunkanku.
“Iya iya mbok.”, akhirnya aku menurut saja. Entahlah aku merasa tidak enak hati jika membuat mbok Giyem merasa bersalah. Karena tentunya dia orang satu-satunya yang selalu menemaniku setiap hari.

***

“Kesya...” teriak seorang pria setengah baya yang sudah tak asing lagi ditelingaku.
“Iya Pak.” Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke arahnya.
“Kamu terlambat lagi? Sudah berapa kali saja ini? Selalu kamu lagi kamu lagi.”, celotehan pria itu tanpa jeda.Dia satpam sekolahku, entah sudah berapa kali aku terlambat sejak mulai pertama kali aku masuk sekolah ini hingga kini aku duduk di bangku kelas 3 SMA. Dia bahkan hafal namaku, kelasku, umurku, bahkan di mana aku tinggal karena saking seringnya aku terlambat sekolah.
“Saya tidak pernah menghitungnya pak.” , jawabku sambil sedikit tertawa.
“Sekali lagi kamu terlambat, kamu akan saya laporkan kepada kepala sekolah agar diberi peringatan.”, tegasnya sambil menuding-nudingkan tongkatnya ke arah wajahku.
“Baiklah pak siap.”, jawabku sambil memberi hormat padanya. “Kalau begitu saya masuk kelas dulu ya pak?”, lanjutku tanpa meunggu jawabannya aku langsung mencoba melarikan diri.
“Eh... siapa bilang kamu boleh ke kelas?”, dengan garangnya dia menarik tasku. “Bershkan toilet!”
“Hah? Lagi? Kemarin sudah kan pak?”, keluhku kesal karena selalu saja toilet yang harus ku bersihkan.
“Dilarang protes.”, dengan angkuhnya dia kembali ke pos sambil tertawa-tawa. Aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Pria ini sungguh menjengkelkan.

***

Aku meninggalkan pelajaranku lagi hari ini karena harus membersihkan toilet lagi.
“Sungguh keterlaluan, memangnya aku cleaning service.”, gerutuku sambil melempar-lemparkan alat pel ke lantai. Tiba-tiba segerombolan cewek masuk, dan sudah ku tebak pasti itu adalah gene cewek onar itu. Aku langsung bersembunyi d salah satu bilik kamar mandi yang rusak.
“Aduh, rambutku makin kucel aja sih.”, kata salah seorang cewek bernama Sheril si ketua geng.
“Hahaha, kamu nggak nyalon-nyalon lagi noh sama si Kesya, kan enak tuh gratis.”, ejek Momo, salah satu cewek dari geng mereka.
“ATM berjalan kamu udah nggak mau lagi bayarin Sher? Hahaha”, ejek Rere, alah satu anggota geng yang lain.
“Resek banget kalian semua. Nggak level lah jalan sama Kesya. Dia tuh nggak punya apa-apa lagi, liat aja bentar lagi orang tua nya bakal bangkrut dan dia bakalan miskin.” Sanggah Sheril. Aku hampir saja ingin menghantam wajahnya dengan tongkat pel ini, namun ku urungkan niatku. Kemudian kulanjutkan lagi mendengarkan pembicaraan mereka.
“Maksud kamu, Kesya miskin?”, tanya Rere penasaran.
“Iya, kalian nggak tau ya, bokap nyokapnya Kesya tuh sebenernya udah bangkrut. Mereka aja ngemis-ngemis ke orang tua nya Bastian supaya bantuin mereka ngedapetin saham lagi di perusahaan.
“Kamu yakin?”, tanya Momo tidak yakin dengan ucapan Sheril.
“Ya iya lah, aku tuh dapat informasi dari orang yang sangat dapat di percaya.”, tegas Sheril. “Makannya aku ogah deh temenan lagi sama dia, masak iya aku temenan sama orang kere. Duh nggak level.” Lanjut Sheril. “Yuk ah balik kelas.”, kemudian mereka semua pergi meninggalkan toilet.  
Aku yang saat itu masih berada di balik bilik toilet tak kuasa menahan air mata, aku sama sekali tidak percaya. Ku pikir Sheril adalah teman yang baik, dulunya kami sering menghabiskan waktu bersama, main bersama, dan Sheril adalah satu-satunya sahabat terbaik yang aku miliki di sekolah ini. Namun, dengan pembicaraan yang aku dengar tadi, aku tidak percaya bahwa ternayata hanya karena uang. Aku bahkan harus membeli sebuah pertemanan dengan uang, dan ketika aku tidak memiliki uang aku tak bisa mendapatakannya lagi. Aku semakin membenci dengan adanya uang. Aku bahkan hampir kehilangan segalanya hanya karena uang, cinta keluargaku bahakan juga pertemananku. Aku benci uang!

***

Sepulang sekolah, aku langsung ke kamar dan mengunci pintu. Kudengar mbok Giyem memanggil untuk makan, namun aku sama sekali tak menghiraukannya. Ku rebahkan tubuhku di ranjang. Dengan campur aduk yang masih menyelimuti perasaanku, mata ku tertuju pada sebuah foto di meja, dengan kesal aku mengambilnya dan menghempaskannya ke lantai, foto itu adalah fotoku bersama papa dan mama. aku tak kuasa memandang foto itu, yang ada hanya amarah dan kekesalan. Lalu sesaat kemudian aku mengambil beberapa baju dan ranselku. Tanpa berpikir panjang aku pergi meninggalkan rumah. Mbok Giyem menghalangiku, terus mencoba untuk mencegah niatku. Aku sama sekali tak menghiraukannya, ku panggil pak Nanang supir di rumah ini dan dengan sigap ku ambil kunci mobil dan mengendarainya hingga hampir menabrak pintu gerbang. Kemudian aku mengendarai mobilku dengan kencang, tanpa mempedulikan mbok Giyem yang bertiak sambil menangis memanggil namaku. Aku tak peduli lagi. Aku benar-benar muak.
Awalnya aku tak tahu kemana aku akan pergi. Pandangan serta tatapanku kosong. Aku terus melaju kendaraanku. Di tengah jalan aku melihat seorang kakek duduk di pinggir jalan sesaat aku teringat akan kakekku, lalu kemudian aku menepikan mobilku. Kulihat kakek itu, dengan menatapku penuh iba, dia berdiri dan menghampiriku. Dengan tangan menengadah dia meminta beberapa uang receh untuk makan hari ini. Ku berikan beberapa lembar uang kertas lima puluh ribuan. Namun, dia malah menolaknya dan hanya meminta sedikit untuk membeli sebungkus nasi. Aku yang saat itu malah kebingungan heran melihat si kakek ini, di saat semua orang hanya memikirkan uang yang bahkan hanya untuk berfoya-foya kakek ini malah menolak ketika diberi uang lebih. Lalu kemudian aku memiliki ide untuk mengajaknya makan saja. Akhirnya dia pun mengangguk setuju. Kupersilakan kakek masuk ke mobilku, lalu ku ajak dia makan di sebuah tempat makan nasi padang. Sembari menunggu pesanan datang aku bertanya kepada kakek.
“Kakek tinggal dimana?”
“Saya tidak tahu.”, jawabnya lirih. Aku semakin kebingungan.
“Lho, lalu selama ini kakek tidur dimana?”
“Saya tidur di tempat anak saya Neng.”, dengan kalimat yang terbata-bata kakek itu menjelaskan dimana dia selama ini bermalam.
“Kalau begitu nanti saya antar kakek ke rumah anak kakek ya?”, tawarku padanya. Kakek hanya mengangguk menurut dengan ajakanku. Lalu kemudian pesanan datang dan kami makan bersama. Setelah selesai makan. Kakek memintaku untuk membungkuskan sisa makanannya untuk anaknya. Aku menolak, dan meminta pelayan membungkuskan yang baru dan lagi-lagi si kakek hanya mengangguk menurut padaku. Setelah selesai makan ku anatarkan kakek kerumah anaknya.
Begitu sampai di tempat yang disebut rumah anaknya, aku begitu tercengang. Rumah yang di maksud kakek adalah sebuah pemakaman umum. Aku hampir saja membeku karena ketakutan, lalu sepertinya kakek mengetahui ketakutanku.
“Jangan takut neng, di sini anak saya tinggal.”, jelasnya sembari menyunggingkan senyum.
“Ke..ke..kenapa di sini kek?”, tanyaku terbata-bata karena ketakutan. Tanpa menjawab pertanyaanku, kakek itu menuntunku ke arah sebuah nisan.
“Anak saya meninggal 15 tahun yang lalu.”, sambil menunjuk ke arah nisan itu.
“Lalu kenapa kakek harus tinggal di sini?”, tanyaku penuh keheranan.
“Saya ingin menemani dia, seumur hidupnya saya sama sekali tidak pernah menemaninya. Saya selalu membiarkannya sendirian, tanpa teman tanpa kasih sayang seorang ayah.”, penjelasan kakek padaku, sesaat air mataku mulai mengalir dan aku teringat papa dan mamaku.
“Saya terlalu sibuk mencari uang, saya pikir dengan uang saya bisa memberikan dia kebahagiaan.”, kemudian kakek terdiam sesaat dan ku lihat air matanya mengalir.
“Dia meninggal tepat saat menunggu saya pulang, dengan hujan yang sangat lebat malam itu dia memberanikan diri menunggu saya di luar gerbang, malam itu sudah sangat larut, petir menyambar-nyambar bersaut-sautan, saya terjebak di kantor, kemudian saya mendapat telepon bahwa putri saya kecelakan tertabrak truk yang hilang kendali di dekat daerah kawasan rumah saya.”, kemudian dia terdiam kembali.
“Saya terlambat, sesampainya di rumah sakit. Putri saya sudah meninggal.”, lalu dia menangis sembari mengusap nisan putrinya.
“Kakek yang sabar ya kek.”, aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan, bibirku terasa kelu dan tercekat. Aku ingin menangis, namun tertahan.
“Satu-satunya yang saya temukan hanyalah secarik puisi yang dia buat untuk saya. Dia mengatakan dia sangat mencintai saya.”, kakek itu kemudian menangis.
“Putri kakek pasti sangat beruntung memiliki kakek. Percayalah kek, dia pasti sudah bahagia.”, ucapku sembari menepuk pundak kakek.
“Saya tidak pernah bermaksud untuk selalu meninggalkannya. Saya hanya ingin memberikan yang terbaik untuknya. Namun saya salah, uang bukan lah satu-satunya cara membuatnya bahagia.”, ucap kakek sembari mengusap air matanya.
“Dia pasti mengerti kek. Untuk itu kakek harus menjalani kehidupan yang baik. Dia akan sedih kalau kakek hidup seperti ini. Apa kakek masih ingin membuatnya sedih?”, tegasku meyakinkan kakek.
“Saya hanya tidak bisa meninggalkannya sendirian lagi.”, jawabnya sambil menatapku.
“Kakek tidak pernah meninggalkannya, karena dia ada di dalam hati kakek.”, kataku sambil menunjuk hati kakek. “Dia tidak pernah sendirian, karena kakek selalu menemaninya.”, lanjutku sambil tersenyum.
Kemudian kakek menatap kembali nisan anaknya, dengan penuh kasih sayang dia mengusapnya dan menciuminya. Setelah itu kami memanjatkan doa kepada Tuhan untuk putri kakek. Dan aku mengantar kakek ke sebuah panti agar dia mendapat perawatan dan bisa hidup layak di sana. Sebelum aku pergi meninggalkan kakek, kakek meberikan aku sebuah kalung liontin milik putrinya.
“Kamu mirip sekali dengan putri saya, bawalah ini bersamamu.”, sembari memberikan liontin itu.
“Tapi kek, ini adalah sesuatu yang sangat berharga untuk kakek.”, tolakku.
“Putriku ada di sini.”, sambil menunjuk hatinya. “Tidak ada yang lebih berharga di bandingkan itu.”
Aku hanya tersenyum. Lalu aku berpamitan dan meninggalkan kakek. Ku lihat kakek lebih bahagia sekarang. Kakek memberikan aku suatu pelajaran yang sangat berharga. Lalu aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Aku melaju mobilku dengan penuh ketenangan sembari menatap liontin tersebut. Aku merasa ada sesuatu yang lebih ringan di dalam hatiku. Perasaanku terasa lebih tenang, dan satu-satunya yang ingin aku temui hanyalah papa mama.
Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba hujan turun sangat lebat di sertai angin kencang. Aku berencana menepikan mobilku dan menunggu hingga hujan reda, karena sudah malam. Namun belum sempat menepikan mobilku tiba-tiba ada sebuah mobil lain yang melaju sangat kencang dari arah yang berlawanan, aku terkejut dan kehilangan kendaliku.
Braakkk......
Kecelakaan itu tak dapat terhindarkan. Mobil itu menghantam mobilku hingga membuat mobilku terguling menghantam sebuah pohon besar. Di tengah-tengah kesadaranku, aku menyentuh sebuah kotak besar yang terguling dari dalam dashboard yang berisi sebuah kado dengan secarik kertas bertuliskan “SELAMAT ULANG TAHUN KESYA”. Aku sedikit teringat bahwa hari ini adalah ulang tahunku. Lalu dengan masih setengah sadar, aku menemukan secarik kertas lagi berisikan tulisan papa yang bertuliskan...

Untuk Putri Papa tercinta
Kesya...
Gadis kecil papa, kini bukan lagi seorang gadis kecil,
Kesya telah tumbuh besar dan cantik,
Namun, bagi papa mama Kesya tetaplah seorang malaikat kecil,
Dengan hanya melihat Kesya, papa selalu diberikan semangat yang luar biasa dari Tuhan,
Papa tidak pernah membiarkan Kesya sendirian,
Karena papa tau Kesya tidak suka kesepian,
papa mengerti apa yang Kesya rasakan,
Ketahuilah sayang tak ada yang lebih membahagiakan selalin melihatmu bahagia,
Setiap hari papa selalu ingin lekas pulang untuk segera melihat dan bertemu denganmu,
Walaupun pada akhirnya papa selalu terlambat dan hanya melihatmu terlelap,
Papa tau Kesya kecewa,
Namun papa tidak mampu jika harus melihatmu terhina sayang,
Papa tak mampu melihat gadis kecil papa terluka,
oleh karena itu, papa menghabiskan seluruh waktu papa untuk kebahagiaan putri papa,
walaupun pada akhirnya papa menyadari hal itu hanya melukai hati Kesya,
Papa berjanji papa tidak akan lagi mebiarkan Kesya terluka, papa akan selalu ada untuk Kesya,
Selamat Ulang Tahun Malaikat Kecilku.
Yang Tersayang
Papa

Aku tak mampu berkata apapun membaca surat papa, segalanya terasa semakin sesak dan sesaat kemudian segalanya berubah menjadi sangat gelap.

***

Kepalaku terasa berat dan begitu pening. Ku coba membuka mataku, kulihat papa tidur di sampingku sambil memegang erat tanganku. Dan kulihat di sisi lainnya ada mama. mama yang menyadari kesadaranku langsung menyentuh kedua pipiku. Seolah-olah sudah lama tak bertemu dia menciumi ku. Sembari menangis dan mengucapkan maaf berkali-kali. Papa yang saat itu mendengar isak tangis mama langsung terbangun. Dan tak berbeda halnya dengan mama, papa menciumiku sembari mengucapkan maaf. Aku hanya tersenyum.
“Sudahlah pa, ma, ini belum lebaran, minta maafnya nanti saja ya? Hehehe.”, gurauku, lalu kulihat mereka tertawa, tawa yang sudah lama tak pernah lagi ku lihat. Tawa yang sempat hilang dan kini tawa itu telah kembali.
“Kesya...mulai hari dan seterusnya, papa dan mama akan menjaga dan menemanimu.”, ucap papa sambil mengusap kepalaku.
“Lalu bagaimana dengan pekerjaan papa dan mama?”, tanyaku keheranan.
Papa hanya tersenyum, “Itu bisa di atur, asalkan bisa melihat putri papa bahagia.”
“Aku mengerti kok pa, jadi jangan mengkhawatirkan aku, jangan karena aku lalu papa harus meninggalkan pekerjaan papa.”, tegasku meminta papa memikirkan kembali ucapannya.
“Hal itu tidak lebih berharga dari pada kamu sayang. Pekerjaan, uang, harta hanya sementara, akan hilang, akan musnah.”, sembari menatap mama. “Namun, bagi kami kamu adalah harta kami yang paling berharga tak dapat digantikan maupun di beli oleh apapun bahkan dengan uang.”, lanjut mama.
Aku menangis sejadi-jadinya. Kemudian papa dan mama memeluku dengan erat. Sesuatu yang sangat aku rindukan. Aku sangat bahagia, bahkan lebih bahagia dibandingkan saat aku memiliki uang. Aku tidak akan menjadi miskin hanya karena aku tak memilki uang, namun aku akan miskin jika tanpa cinta dan kasih sayang orang tuaku. Walaupun segalanya memerlukan uang, namun uang tidak dapat membeli segalanya. Dan aku bahagia karena cinta bukan karena uang.  Cinta, kasih sayang, dan sebuah pertemanan tidak akan mampu di beli oleh uang. Uang akan musnah, namun cinta akan selalu abadi.

*TAMAT*



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti kompetisi menulis cerpen "Pilih Mana:Cinta atau Uang?" #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com

Minggu, 01 November 2015

SETITIK KECEROBOHAN HILANG NYAWA MELAYANG



“Jejeeee!!!”, sontak aku terbangun dari ranjang tempat tidurku dengan nafas terengah-engah serta detak jantung yang tiada hentinya berdegup kenjang seolah ingin berlari. Aku tak pernah mampu menghilangkan ingatan itu, ingatan akan seorang gadis yang sangat aku cintai, Jeje. Bayangan itu masih ada, berlarian dalam otakku. Kejadian hari itu, awal dimana aku terus menerus mendapatkan mimpi-mimpi ini, mimpi buruk akan Jeje.

Sebulan yang lalu…

Hari itu aku berencana menikmati waktu luangku bersama Jeje. Setelah melalui cukup penatnya aktivitas kerja di kantor, kami sepakat memutuskan untuk pergi ke puncak. Tempat dimana kami dapat menemukan kesejukan nuansa alam setelah padatnya aktivitas yang melanda. Saat itu pukul 06.00 WIB, setelah packing kami langsung berangkat menuju puncak. Aku memutuskan untuk mengendarai sepeda motor karena untuk menghindari kemacetan kota yang sering terjadi saat musim weekend seperti ini. Tak luput pula, aku dan Jeje mengenakan perlengkapan lengkap standar mengendarai sepeda motor pada umumnya. Aku memeriksa setiap bagian motorku yang kurasa sudah cukup aman untuk memulai perjalan.

“Udah siap semuanya?”,tanya Jeje sambil menepuk bahuku dari belakang.

“Yap, are you ready?”, jawabku sembari memasangkan helm kepadanya.

“Tentu saja. Eh, apa kita perlu ke bengkel dulu? Sepertinya ban motormu terlihat menipis?”, katanya sambil menunjuk ban motorku.

“Ahh, tak perlu, itu tak akan jadi masalah untuk perjalanan. Yaudah yuk berangkat!”,ajakku sembari menarik lengannya untuk naik ke atas motor.

“Baiklah, let’s go!”, teriaknya nyaing penuh keceriaan.

Akhirnya kami memulai perjalan kami. Perjalanan menuju puncak memerlukan waktu kurang lebih 7 jam dari pusat kota. Selama perjalanan, Jeje tak henti-hentinya meminta untuk beristirat karena dia cukup kelelahan duduk di motor setelah beberapa hari sebelumnya dia menjalankan beberapa pekerjaan yang sangat menguras tenaganya di kantor. Akhirnya akupun menurutinya untuk beristirahat sejenak sembari merenggangkan otot-otot. Selang beberapa saat, tiba-tiba Jeje mengeluhkan ban motorku lagi yang sudah terlihat menipis itu.

“Ke bengkel dulu yuk, ganti ban kamu itu udah tipis banget, nanti kalo ada apa-apa gimana?”, rengeknya kembali sambil menarik-narik bajuku bak macam anak kecil yang meminta permen.

“Ahh, kamu parno banget sih, aku setiap hari naik itu motor nggak kenapa-kenapa juga.”

“Tapi apa salahnya kalo kita antisipasi akan hal ini?”

“Ah, sudahlah kamu brisik banget sih masalahin ban motor, kita ini mau senang-senang, mau refreshing.”, jawabku sedikit emosi kepadanya.

“Iya maaf kalo gitu.”, akhirnya dia menyerah juga mengingatkanku akan ban motor.

Kemudian kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kembali. Perjalanan yang harus kami tempuh masih cukup jauh, kurang lebih 3 jam lagi. Selama perjalanan Jeje hanya terdiam tak berbicara sedikitpun, tidak seperti biasanya yang cukup bawel dan berisik kepadaku. Untuk meredakan keheningan akhirnya aku meminta Jeje untuk mengmainkan sebuah lagu di handphone dan menyanyikan bersama-sama seperti biasanya. Namun, di luar dugaan Jeje menolaknya dan mengatakan bahwa akan cukup berbahaya memainkan musik saat sedang mengendarai sepeda motor. Aku sangat heran ada apa dengan dia hari ini? Mulai dari meributkan ban motor yang bahkan biasanya dia tidak peduli, hingga tidak mau  memainkan musik yang bahakan biasanya dia akan bernyanyi sepanjang jalan tanpa henti. Akhirnya tanpa banyak bicara pun aku terus melanjutkan perjalanan dengan suasana yang sangat hening. Hingga akhirnya aku tak tahan lagi akan sikap Jeje yang hanya diam tak mau berbicara sedikitpun kepadaku. Aku melaju kendaraanku dengan kecepatan yang cukup tinggi, sontak Jeje terkejut dan hampir jatuh. Namun anehnya dia hanya diam tak berbicara apa-apa sembari mengencangkan pegangannya di pinggangku lebih erat. Aku pun merasa bersalah pada Jeje.

“Maafin aku Je.” Kataku sambil melaju kendaranku lebih pelan.

“Hati-hati.” Jawabnya singkat tanpa menanggapi permintaan maafku.

            Perjalan terasa semakin hening, Jeje hanya terus terdiam. Mungkin dia marah padaku, akhirnya ku putuskan untuk beristirahat dan makan dahulu. Perjalanan masih kurang lebih satu jam lagi harus ditempuh. Saat memesan makanan di sebuat cafe kecil sambil beristirahat, Jeje tidak mau memesan apapun. Lalu aku hilang kesabaranku terhadap sikapnya yang seperti anak kecil ini.

“Kamu kenapa sih? Di ajak ngomong nggak jawab, diajak makan nggak mau pesan. Kamu marah sama aku?”, sentakku dengan nada tinggi pada Jeje. Namun Jeje hanya menggelengkan kepalanya tanpa sepatah katapun. “Kamu bisu?”, emosiku semakin menjadi. Kuangkat wajahnya yang sedari tadi hanya menunduk tanpa menatapku. “Jangan kayak anak kecil deh. Cuma gara-gara ban motor aja ngambek kaya gini.” Dan sekali lagi dia hanya terdiam. “Kamu tuh nggak usah parno mikir yang macem-macem, nggak bakal ada apa-apa, tiap hari aku make motor itu dan kamu lihatkan aku baik-baik aja.” Emosiku semakin menjadi-jadi. Kulihat air mata mengalir di wajahnya, aku pun sudah tak sabar lagi. Kemudian ku tarik tangannya meninggalkan café itu tanpa sempat makan apapun, dan melanjutkan kembali perjalanan kami.

Aku melaju kendaraanku lebih kencang dari sebelumnya. Aku terus melaju menerobos jalanan yang cukup padat penuh kendaraan hari itu. Hingga sampai di suatu persimpangan jalan hampir sampai ke puncak, dengan kecepatan yang sangat tinggi, tiba-tiba di luar dugaanku, ban motorku tiba-tiba pecah, aku hilang kendali, motorku tak dapat kuhentikan dan sesaat muncul sebuah truk beras dari arah yang berlawanan melaju cukup kencang pula, aku sangat ketakutan, dan ku genggam tanggan Jeje erat. “Bruuukkkk…!!!”, truk itu menghantam motorku sangat keras. Tangan Jeje terlepas dari genggamanku, dengan menyisakan darah segar yang terus bercucuran. Kucium aroma tanah penuh darah, aku tergeletak tak berdya, aku ingin berlari menuju Jeje yang tubuhnya terpental jauh di depanku. Dengan pandangan yang samar kulihat wajah cantik Jeje berlumuran darah serta tubuhnya yang penuh luka. Aku tak mampu menggapainya, hingga kemudian segalanya menjadi gelap. Sangat gelap.

“Alhamdulillah.”, kudengar seseorang mengucapkan kalimat syukur di sampingku. Ku buka mataku secara perlahan, kulihat cahaya yang sangat silau dan perlahan semakin jelas. Aku sempat kebingungan akan keberadaanku. Kepalaku terasa berat, tangan, kaki serta tubuhku sangat kaku dan sukar untuk ku gerakkan. Kulihat ibuku di sampingku sambil menangis ia terus menciumi wajahku dan terus mengucapkan puji syukur kepada Tuhan. Sontak aku kemudian tersadar dimana aku. “Jeje.” Tanpa pikir pajang aku langsung bangun dan mencari Jeje. Ku cari di setiap sudut ruangan rumah sakit ini. Namun tak ku temukan sosok manis itu. Kulihat ibuku berlari-lari dengan terengah-engah menuju ke arahku.

“Ren, kamu tidak akan menemukan Jeje di sini nak. Dia tidak ada di sini.”, kata ibu sambil menarik tanganku memberikan sebuah handphone milik Jeje kepadaku. “Jeje meninggal bebrapa jam setelah kecelakaan itu, dia mengalami pendarahan yang sangat parah. keadaannya sangat kritis, begitu juga denganmu. Dokter berpikir sudah tak ada harapan bagi kalian berdua. Namun, di luar dugaan kondisimu mulai ada harapan, sedangkan Jeje tidak bisa bertahan lagi.” Mendengar hal itu hatiku remuk, tak henti-hentinya aku menyalahkan diriku sendiri. Andaikan saja ku dengarkan perkataan Jeje waktu itu.

“Jee…maafkan aku.”, tangisku semakin menjadi ketika ku buka layar ponsel Jeje. Kulihat fotoku dengannya. Wajah manis Jeje yang tersenyum riang melihatku. Foto yang kami ambil sebelum melakukan perjalanan maut itu.

            Sejak kejadian itu, aku tak pernah lagi mengendarai motorku, perasaan trauma yang sangat besar benar-benar aku rasakan. Aku juga tak pernah lagi berkumpul dengan club motor yang biasa aku ikuti, untuk beberapa waktu aku hanya berada di rumah tanpa ingin pergi kemanapun. Terlebih sosok Jeje yang selalu datang tiap malam dalam mimpiku membuatku sulit melupakan kejadian itu. Hari-hariku selau dipenuhi rasa bersalah akan Jeje.

Suatu ketika aku menyadari aku tak bisa berlarut-larut untuk seperti ini. Aku mulai memberanikan diri kembali dengan aktifitasku. Awalnya berjalan sangat baik dan normal seperti biasanya, walaupun aku belum berani lagi mengendarai motorku lagi. Namun ternyata segalanya tidak berjalan dengan mudah, aku begitu terganggu tiap kali menatap jalanan, dengan kendaraan serta bunyi klakson yang terus bordering. Aku hampir gila saat-saat seperti itu. Pekerjaanku di kantor pun kacau, tidak terselesaikan dengan baik, dan pihak perusahaan akhirnya memilih mengeluarkan aku. Anehnya aku sama sekali tidak merasakan kesedihan dari kehilangan pekerjaanku. Aku merasa ada sesuatu yang melegakan dalam hatiku.

Hari itu setelah menerima honor terakhirku, aku memutuskan untuk mengunjungi Jeje. Dalam perjalanan, aku mampir ke took bunga untuk membeli beberapa mawar kesuskaan Jeje. Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk punggungku. Ternyata Verrel teman club motorku.

“Hei Ren, apa kabar kau lama tak jumpa.”, sapa Verrel dengan logat melayunya.

“Seperti yang kamu lihat.”, jawabku sembari menyunggingkan senyum padanya.

“Apa kau sakit? Kau terlihat sangat buruk. Oh yaa, lusa kita akan touring ke Joga. Kau harus ikut, oke”, ajak Verrel.

“Maaf aku tidak akan lagi mengendarai motor.”, jawabku dengan penuh keyakinan.

“Hmm…sudahlah jangan diingat lagi, itu hanya akan menyiksamu sendiri Ren. Lihat, Tuhan masih menyelamatkanmu, itu artinya kau diberikan kesempatan untuk memperbaiki, bukan untuk lari Ren.” Varrel terus membujukku. “Ku pikirkan lagi. Aku duluan ya. Bye.”, aku bergegas pergi meninggalkan Verrel sendiri yang terus menatapku.

Sesampai dipemakaman umum, air mataku kembali mengalir. Aku sama sekali tak menyangka bahwa nama gadis itu terukir di batu nisan ini. “Hallo Je.”, sapaku memulai pembicaraan. “Apa kabar Je? Rasanya udah lama nggak ketemu ya Je? Oh ya, maaf aku hanya bisa membawakan bunga mawar ini padamu.”, aku terus berbicara walaupun aku tau Jeje tak akan menjawab apapun. “Je, maafkan aku. Kamu menjadi korban atas keegoisan dan keangkuhanku. Aku harusnya dengarkan mu, hehe.”, tanpa sadar air mata mengalir lagi di wajahku. “Aku tidak tau mengapa aku begitu bodohnya saat itu, begitu sombong atas diriku ini. Harusnya aku Je yang berbaring di sini, bukan kamu. Maafkan aku Je.”, sembari menyeka air mataku, kutaburkan beberapa taburan bunga mawar serta menyirami makam Jeje. “Je, aku hampi kehilangan akalku, aku selalu berharap kamu akan memaafkanku. Aku berjanji, aku tak akan lagi begitu angkuh dan mengacuhkan peringatan Tuhan. Aku akan lebih hati-hati Je, sesuai permintanmu. Kamu harus bahagia ya Je. Aku menyayangimu.”, kucium nisan Jeje, dan kutatap untuk yang terkahir kalinya sebelum aku pergi.

Malam harinya, aku memberanikan diriku menuju garasi motorku. Kulihat di sana masih tersimpan rapi, dengan kondisi motor yang masih sama saat kecelakaan hari itu. Awalnya aku begitu ketakutan, aku benar-benar takut untuk menyentuhnya. Namun, aku terus memberanikan diriku, seperti ada Jeje ketika memberikan semangat padaku. Perlahan mulai ku sentuh motor itu, mulai kuperbaiki setiap bagian yang hancur akan kenangan itu. Dan akhirnya aku mampu menyelesaikannya. Motor kenanganku bersama Jeje. “Je, apa kamu siap?”, sekali lagi aku berbicara sendiri seolah ada Jeje yang kuajak bicara. Ku nyalakan mesin, perlahan mulai kunaiki. Tangan kakiku mulai bergetar, semakin rasanya aku ingin memulainya. Kutarik gas dengan lembut “Bruumm…”, suara yang nyaring ini mengajakku untuk segera melajukan kendaraan. Namun, tiba-tiba aku terhenti, kumatikan mesin motor itu. Untuk memastikan kondisinya apakan akan benar-benar aman untuk ku kendarai.

Untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Aku selalu memastikan pada diriku sendiri bahwa aku sudah benar-benar siap untuk memulainya lagi. Tanpa mengacuhkan akan hal-hal yang ku anggap sepele. Seperti mulai dari memeriksa seluruh kelayakan kondisi kendaran, keadaan fisik dan emosional pribadi untuk mengendarai, serta perlengkapan standar mengendarai sepeda motor. Tak luput pula mematuhi peraturan lalu lintas dan menghormati pengendara lain. Aku harus sadar bahwa yang utama adalah sebuah keselamatan, tak hanya bagi keselamatanku, namun juga bagi keselamatan orang lain. Tak hanya kehati-hatian dan kewaspadaan dalam mengendarai kendaraan namun juga harus disertai doa dalam perjalanku. Karena bahkan walaupun nantinya aku  sudah berhati-hati namun dengan adanya kecerobohanku akan merugikan orang lain pula. Seperti halnya atas kecerobohanku, aku telah mengakibatkan Jeje meninggal.

Pada hakekatnya kematian adalah takdir Tuhan, namun sebagai manusia yang mencintai Tuhan aku harus pula menjaga diri sebagai bentuk rasa syukur atas karunia-Nya.



~end~

   





NB: Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menilis Cerpen "Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan." #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com